“Enam
tahun sudah kita bersama,” ucap Jerome lirih, memandang sayang pada kamar
tidurnya. “Aku tidak tahu kapan aku bisa kembali karena kalau tujuh belas tahun
nanti, aku akan ke Belanda, bersama kakek dan nenek di sana sekaligus
melanjutkan sekolah, mengenang Ibu………”
“Sudah
siap Jerome?” tanya Sudiro yang berada di depan pintu kamar Jerome yang
terbuka.
“Iya
Yah,” ucap Jerome, beralih memandang Ayahnya. “Ayah, izinkan aku kembali ke
sekolah formal sebelum usiaku tujuh belas tahun nanti.”
“Tapi
Jerome, apa kamu lupa pertama kali kamu memasuki SMP formal?” tanya Sudiro pada
anaknya.
Jerome
masih ingat saat pertama kali dia tiba di SMP formal. Dengan mata biru terang
milik ibunya serta rambut coklat dan hidung mancung khas barat, Jerome banyak
mendapat diskriminasi di sana-sini karena perbedaan fisik tersebut namun hal
yang berbeda ditunjukkan oleh teman perempuannya, banyak godaan menghampirinya
dan tak terhindarkanlah pengeroyokan geng lelaki itu ditujukan padanya. “Jerome
punya strategi Yah, lagipula aku juga sudah fasih Bahasa Indonesia,” ucap
Jerome tersenyum lebar.
“Baiklah,
tapi kalau kejadian di SMP terulang lagi, Ayah gak segan akan kembalikan kamu
ke home schooling,” ucap Sudiro mewanti-wanti anaknya.
“Oke
Yah!”
SMA Jayanegara. SMA yang cukup
favorit untuk menjadi sekolah Jerome. Memasuki kelas di sekolah formal dengan
teman yang beragam tingkah dan wajah, membuat Jerome amat bersemangat.
“Baiklah
anak-anak, ini teman baru kalian, Jerome,” ucap Bu Ratih, sang walikelas di
depan kelas menghadap teman-teman di kelasnya. “Nah Jerome, kamu bisa duduk di kursi
kosong itu, sebelah Lintan.”
Jerome
melihat berkeliling kelas dan dilihatnya gadis yang berkuncir kuda dengan
tatapan biasa saja terhadapnya, sedikit berbeda dari perempuan lain yang lebih
antusias. Dia cukup manis dengan poni yang menutupi dahinya.
“Hai,
aku Jerome,” sapa Jerome pada teman baru di sebelahnya sambil mengulurkan
tangan untuk berjabat tangan.
“Lintan,”
ucap Lintan singkat, menjabat tangan Jerome dan segera melepasnya.
“Lintan?”
ulang Jerome.
“Kenapa,
emang ada yang aneh?” tanya Lintan, mendengus kecil.
“Enggak
kok,” ucap Jerome, tersenyum ramah.
“Oh,
hatciuuuuuwww,” bersin Lintan.
“Aa,”
ucap Jerome melihat seragamnya bertitik-titik kecil terkena ingus cair Lintan
yang nyiprat.
“Maaf
ya, maaf, ini tisu buat bersihin,” ucap Lintan, memberikan tisu pada Jerome.
“Aku radak flu.”
“Hidungnya
kecil dan lancip, kenapa bersinnya muncrat sembarangan kayak air bah,” batin
Jerome.
YYY
“Wah,
ternyata ada rapat ekskul di perpustakaan, hmmm,” batin Jerome melihat
kerumunan di meja panjang di salah satu sudut perpustakaan sekolah.
“Tidak
boleh ramai lho Tan, awas kalau diulang lagi,” ucap Bu Lastri, penjaga
perpustakaan kepada seseorang, terkesan mengingatkan.
“Beres
Bu,” ucap seseorang yang dikenal Jerome sebagai suara perempuan yang memberi
noda ingus pada seragam barunya masuk SMA.
Melanjutkan
membaca kamus Indonesia-Belanda yang sudah kusam, Jerome berjalan sambil
membuka-buka halaman kamus yang amat lembab karena jarangnya peminat.
“Bamm!”
Jerome menabrak tubuh seseorang dan, “Aaaaah!” jeritan itu terdengar seiring
jatuhnya tubuh mereka. Jerome menabrak tubuh Lintan yang berdiri di belakang
tumpukan koran , koran-koran itu berserakan bersamaan dengan jatuhnya mereka
berdua yang diikuti tawa dari penduduk perpustakaan termasuk pengurus ekskul
drama yang sedang rapat meski mereka sudah bergegas berdiri, dan……….”Lintaaan!
ayo keluar dari perpustakaan, selalu saja kamu!” teriak Bu Lastri.
“Tapi
Bu─”
“Tidak
ada tapi, ayo keluar!” kekeuh Bu Lastri, menunjuk pada pintu perpustakaan.
Tanpa
melihat Jerome ataupun menghiraukan tawa yang masih terdengar, segera saja
Lintan berlalu dari hadapannya dan keluar dari perpustakaan. Merasa ini karena
kesalahannya, Jerome mengikuti langkah Lintan.
“Hai,
Tan,” langkah Jerome mengikuti Lintan.
“Mau
apa?” tanya Lintan, tetap berjalan dan tidak menoleh pada Jerome.
“Aku
mau minta maaf,” ucap Jerome, masih di belakang Lintan.
“Bamm!”
Jerome kembali menabrak tubuh Lintan yang berhenti mendadak di depannya.
“Maaf,” ucapnya cepat-cepat.
Lintan
berbalik untuk melihat Jerome, “Kamu rabun ya, hobi banget nabrak aku.”
“Mungkin…sedikit,”
ucap Jerome, tersenyum ramah.
“Jadi
periksakanlah, oke anak baru, takutnya nanti kamu kena rabun ayam,”
“Rabun
ayam?” tanya Jerome, kentara tidak mengerti.
“Ya,
rabun ayam itu biasanya bisa datang meski dari rabun biasa dan efeknya kamu
bakal gak bisa liat warna lain selain warna hitam putih,” ucap Lintan, berlalu
dari kebingungan Jerome.
“Emang
enak dikerjain, salah sendiri hancurin rencana aku,” batin Lintan.
“Emang
bener ada penyakit seganjil itu di Indonesia?” lirih suara Jerome.
Berjalan
menuju kelas untuk mengambil tasnya, Jerome masih saja memikirkan tentang
penyakit rabun ayam. Lintan berhasil.
Sesampai
di kelas…….
“Loh
Tan, kamu masih di sini?” tanya Jerome yang melihat Lintan masih di kursi
sebelahnya. “Ini udah jam pulang kan?”
“Yee,
emang kenapa? Aku juga gak nguntit barang kamu kok,” ucap Lintan ketus,
meninggalkan Jerome begitu saja.
“Nguntit?”
batin Jerome
“Bapak
pulang duluan aja ya,” ucap Jerome pada Pak Sabar yang merupakan sopir
pribadinya, setelah di halaman luar sekolah.
“Lalu
Tuan muda?” tanya Pak Sabar, kentara khawatir.
“Banyak
angkutan kok, oke Pak,” ucap Jerome, berlalu dari hadapan Pak Sabar untuk
mengikuti langkah kaki Lintan.
Perjalanan
dari halaman luar sekolah menuju ke gang kecil di sisi kiri jalan,
berkelok-keloknya jalan serta gang yang ada membuat Jerome tidak hapal jalan kembali
jikalau dia nekat berbalik dan meninggalkan Lintan. Sesampai di jalan raya yang
sepi, Jerome menjaga jarak beberapa meter dari Lintan agar tidak kepergok.
Lintan menyeberang jalan dan memasuki pintu gerbang yang terlihat oleh Jerome
seperti taman makam. Merasa aman, Jerome segera mengikuti langkah Lintan untuk
memasuki gerbang. Setelah masuk, dia membuktikan perkiraannya yang benar bahwa
itu memang taman makam.
“Tapi
dimana Lintan?” batin Jerome sambil melihat kanan-kiri, kehilangan pandangan
akan sosok Lintan.
“Heh,
pengupil!” lantang suara Lintan di belakang Jerome.
“Pengupil…?”
batin Jerome.
“Ngapain
ngikutin aku hah!” gertak Lintan yang sudah berpindah di depan tubuh Jerome
sambil mengayunkan silet pelancip pensil karatan di depan Jerome. ”Kamu mau
nyulik aku! Atau kamu mau merkosa aku! Atau jangan-jangan………kamu penjagal yang
mau mutilasi aku! Ayo ngaku!”
“Enggak
lah,” ucap Jerome tenang.
“Terus
mau apa!” gertak Lintan, masih mengayunkan silet pelancip pensilnya.
“Mending
kamu beli silet baru untuk menggertak,” ucap Jerome, masih tenang memandang
Lintan, tertawa kecil melihat silet karatan di tangan Lintan.
“Dasar
pengupil! Pergi sana, mau ngapain sih?” Lintan menyimpan silet pelancip
pensilnya.
“Lah
kamu mau ngapain di taman makam sepi gini?” Jerome balik bertanya.
“Mau
beli es cendol! Yah melayat lah!” ucap Lintan, berjalan menyusuri taman makam.
Jerome
tertawa kecil mendengar ucapan Lintan, dan “Hampir saja,” batin Jerome, karena
Lintan sudah berhenti mendadak di depannya, melihat dengan mata sendu pada
salah satu pusara.
“Li-li,”
eja Jerome. “Teman kamu Tan?”
“Iya,”
ucap Lintan, duduk di sebelah pusara yang berhias bunga lili. “Lili yang
mencintai bunga lili.”
Jerome
duduk di sebelah Lintan yang sudah menitikkan air mata. Ingin ia menanyakan hal
lainnya namun diurungkannya karena melihat raut duka di wajah Lintan.
“Li,
ini Jerome, pengganti kamu sebagai teman sebangkuku, hidungnya sangat mancung
dan rambutnya awut-awutan, jadi teringat Doni,” ucap Lintan, menghapus air mata
yang menghiasi pipinya.
“Doni
itu pacar Lili?” tanya Jerome.
“Bukan,
dia boneka simpanse kesayangan Lili. Perrrrrrt! Perrrrrrt!” Lintan membuang
ingus di tisu yang telah dipegangnya.
“?????!!!!!”
“Li,
sepeda itu……..utang janjiku…….uang… Perttttt! Perrrrrt!” ucap Lintan dengan
suara bindeng, masih saja membuang ingus ke tisunya dan membuangnya sembarangan.
“Aku akan membayarnya.”
“Sepeda,
utang, uang? Apa maksud Lintan?” batin Jerome.
“Huhuhuhuhu…huhuhuhu.”
tangis Lintan semakin menjadi. “Perrrrrrrt! Perrrrt!”
“Udah,
jangan begitu, nanti Lili nyesel punya sahabat kayak kamu,” ucap Jerome, sok
menasehati.
“Apa
maksudnya!” gertak Lintan, masih dengan suara bindeng.
“Tuh
liat,” ucap Jerome, memandang pada tisu-tisu Lintan yang berserakan di sekitar
pusara. “Bukannya ngasih bunga malah dihiasin tisu penuh ingus.”
“Ehehe…”
senyum Lintan mengembang.
“Oh
ya Tan, kenapa sih kamu panggil aku pengupil?” tanya Jerome, ketika mereka di
salah satu kursi panjang di halaman luar taman makam.
“Karena
hidung kamu mancuuung banget, pastinya itu karena kamu suka ngupil karena kamu
juga bukan bule,” ucap Lintan, cekikikan.
“Aku
ada keturunan Belanda,” ucap Jerome.
“Belanda?
Belanda kompeni?” tanya Lintan, meneliti Jerome. “Kamu udah pengupil suka boong
juga ya. Mata kamu hitam biasa, rambut coklat yang jelek dan awut-awutan,
hidung mancung gitu orang sini juga banyak. Kalau keturunan kompeni, mata biru
barulah menyakinkan.”
“Tapi,”
ucap Lintan, melihat dalam mata hitam Jerome. “Mata kamu kayak……kamu pakai
lensa mata?”
“Enggak
lah,” ucap Jerome mengalihkan pandangan agar Lintan tidak melihat matanya.
“Lalu sepeda, utang, uang yang kamu bicarain tadi? Kamu punya utang uang ke
Lili buat beli sepeda Tan?”
“Plak!”
Lintan memukul kepala Jerome. “Enggak lah. Liat aku audisi drama ya pil!
Mungkin minggu depan.”
YYY
“Hei
pil, gimana? Bagus gak akting aku tadi?” tanya Lintan, menghampiri Jerome yang
ada di kursi penonton.
Melihat
rambut Lintan yang tergerai, dia terlihat semakin manis di mata Jerome.
“Bagus….emm rambut kamu digerai?”
“Iya,
ini kesukaan Aldinan,” ucap Lintan, mengelus rambutnya yang tergerai.
“Oyah,
masih adakah audisi pangerannya?” tanya Jerome.
“Ya
gak ada, kan yang jadi pangeran itu si Aldinan,” ucap Lintan ceria. “Lagian
mana ada pangeran rambutnya awut-awutan kayak kamu, kamu cocoknya jadi
pengantar apel.”
“Pengantar
apel?”
“Iya,
nanti kan putri salju mati karena makan apel,,,,hatciuuuuuuw! Maaf pil!” Lintan
kembali meyerahkan tisu pada Jerome.
“Oke,”
kembali titik-titik cair menghiasi Jerome, kali ini bukan di seragamnya
melainkan di wajahnya. Sungguh terlalu Lintan!
Beberapa
menit kemudian…..
Maka sudah diputuskan juri bahwa
yang memerankan putri salju adalah Lintan Andrada……
“Wah
pil, aku menang,” ucap Lintan gemetaran sambil menggoncang-goncangkan lengan
Jerome. “Aaah senangnya.”
“Iya.”
“Tapi
mana ya yang namanya Aldinan?” batin Jerome.
YYY
“Aaaaah dasar lintah darat! Aaaah dasar babi
hutan!” teriakan dan jambakan tergambar jelas dengan bergulingnya Lintan dan
Beby seperti singa berebut mangsa. Jerome dan beberapa teman berusaha untuk
memisahkan perjambakan mereka karena pementasan segera dimulai hanya dalam
beberapa menit.
“Kamu
kenapa sih Tan?” tanya Jerome ketika sudah duduk di salah satu kursi. “Dia-
Beby itu- saingan- soal-─”
ucap Lintan, ngos-ngosan.
“Oke
, aku ambilin minum dulu,” ucap Jerome, menuju ruang konsumsi.
“Jadi,
kamu bakal melumat bibir si Lintan, Nan?” tanya seorang lelaki yang memakai
kostum raja di sebelah lelaki memakai kostum pangeran.
“Tentu,
Aldinan takkan menyia-nyiakan kesempatan melumat bibir gadis secantik Lintan,”
ucap lelaki yang memakai kostum pangeran yang ternyata Aldinan.
“Dasar!
Kamu emang playboy sejati Nan!” ucap lelaki yang berkostum raja.
“Oh,
jadi itu Aldinan dan dia playboy,” batin Jerome.
Dan
tanpa sepengetahuan Jerome, secara jeli Aldinan telah memergoki dirinya yang
meneliti Aldinan terlalu lama, “Eh, kenapa liat-liat!” gertak Aldinan pada
Jerome. “Pengantar apel,”
Mendengar
gertakan Aldinan, Jerome segera berlalu tanpa sepatah kata pun, hanya membawa
dua gelas air mineral. Sesampai di depan Lintan, Jerome menceritakan apapun
yang dibicarakan oleh Aldinan namun tanggapan Lintan yang dikira Jerome akan
marah tidaklah muncul malah Lintan tenang-tenang saja.
Narator : Pangeran pun tiba untuk
menyelamatkan nyawa putri salju…..
“Putri,
aku akan menolongmu…..” suara Aldinan terngiang di seluruh aula.
“Jangaaaan!”
ucap Jerome, keluar dari balik tirai panggung dan sudah memakai kostum raja
yang ditanggalkan oleh Bastian, pemeran raja sesungguhnya.
“Aku
adalah pangeran yang asli, dia pembunuh yang menyamar,” ucap Jerome lantang menunjuk
Aldinan, menciptakan sendiri naskahnya. “Maka akulah yang akan menolong sang
putri.”
Banyak
bisikan dari belakang panggung maupun bangku penonton, terdengar satu seruan,
“Wah, drama yang seru!” diikuti riuh tepuk tangan. Maka dengan semangat membara
Jerome mencium kening putri salju alias Lintan tanpa memperhatikan wajah
bengong tak terkira milik Aldinan.
YYY
“Pengupiiil!
Kamu ngehancurin rencana aku. Ini gatot. Gatot. Gatoot!” teriak Lintan pada
Jerome.
“Gatot?”
“Iya,
dan kalau kamu nanya gatot itu apa, gatot itu pecinta calon rabun ayam kayak
kamu!”
“Tapi
aku kan cuma nyelametin kamu Tan, lagipula aku juga cuma cium kening kamu dan
banyak yang suka, lagipula Aldinan itu─”
“Buaya.
Yah aku tahu. Aku emang ngejar buaya itu karena aku bakal dapat uang sejuta
dari Beby kalau aku bisa berciuman dengannya lebih dulu dari Beby tapi kamu
hancurin begitu aja.”
“Kenapa
kamu merendahkan harga diri hanya untuk uang sejuta Tan?”
“Merendahkan.
Emang ya kamu gak pernah ngerasa gak punya duit dan kepepet. Ini semua aku
lakuin untuk janji aku ke Lili untuk membeli sepeda baru buat Pak Lutfi. Ngerti
kamu!” teriak Lintan dan meninggalkan Jerome terpaku.
YYY
Jerome menelusuri siapakah Pak Lutfi
itu dan ternyata Pak Lutfi adalah tukang kebun SMA Jayanegara sekaligus Ayah
Lili. Lili ingin membelikan sepeda baru untuk Ayahnya yang selalu berjalan kaki
setiap ia bekerja serabutan namun rencana Lili berhenti sejalan dengan
berhentinya nafas Lili. Lintan dan Lili bersahabat, Lintan pernah mengatakan hutang janji maka
jelasnya tugas Jerome.
Beberapa
bulan kemudian……
“Kamu
yang ngasih sepeda baru ke Pak Lutfi?” tanya Lintan yang baru tiba di kelas,
melihat lekat pada Jerome yang duduk di kursinya.
“Pak
Lutfi yang ngomong gitu?” tanya Jerome sambil tersenyum ramah memandang Lintan.
“Iya,”
ucap Lintan, duduk di kursi sebelah Jerome. “Makasih ya pil.”
“Tan,
besok hari ulang tahun aku,” ucap Jerome, mencairkan suasana.
“Terus
kenapa? Minta kado? Minta sana sama peri gigi,” cerocos Lintan.
“Ehehe,
enggak lah. Besok aku jemput yah, ngerayain kecil-kecilan aja di restoran,”
ucap Jerome ceria. “Rambutmu digerai, lebih indah.”
“Makasih
dan jangan iri karena rambutku yang indah ini berbeda jauh dengan rambutmu yang
jelek dan awut-awutan.”
“Ouh,
dan Tan, kamu beneran pernah suka Aldinan selama pengejaran kamu?”
“Ada,
meski dia buaya wajahnya tetap saja tampan setampan aktor Eza Gerilno,” ucap
Lintan, tersipu.
“Apa
ada kesempatan mengalahkan buaya sejenis Eza Gerilno kw?”
“Tentu
saja yang memiliki mata biru cerah kayak Zac Efron, hahaha,”
“!”
YYY
“Kamu
siapa? Zac Efron…..” lirih Lintan, terheran di depan lelaki tampan yang
berpenampilan keren dan memiliki mata biru cerah.
Setelah
diamnya lelaki tampan di depannya, Lintan berujar, “Agen pencari artis baru ya?
Di sini gak ada yang daftar jadi artis mas,”
“Aku
Jerome Tan,” ucap Jerome, menarik tubuh Lintan untuk masuk ke dalam mobilnya.
Jerome
menceritakan segalanya tentangnya. Alasan dia menyamar serta mata biru cerahnya
yang berasal dari Ibu kandung seorang Belanda yang telah tiada, juga akan
perjanjian usia tujuh belas tahun yang mengharuskan ia menetap di Belanda.
Di
restoran………
Jerome
diam sambil tersenyum-senyum kecil melihat wajah Lintan yang sangat berbeda
dari biasanya, kentara gugup. “Apa pengupil ini lebih dari buaya-mu?”
“Aku
ke toilet dulu,” ucap Lintan gak nyambung.
“Ini
kue─” sambutan ceria si
pelayan restoran terpotong oleh gerakan Lintan.
“Prak!
Bump!” debum bunyi kue terjatuh ke lantai.
Wajah
Lintan sudah dipenuhi krim kue karena menabrak si pelayan yang baru sampai di
sebelahnya. Tak pelak seluruh warga restoran menertawakannya.
“Sialan!”
ucap Lintan, membasuh muka dan melihat cermin di depannya. “Aaaah!” Jerome Zac
Efron sudah ada di belakangnya.
“Kamu!”
gertakan Lintan terhenti sejalan dengan yang ia lihat bahwa di dalam toilet
seluruhnya adalah lelaki kecuali dirinya. “Huhuhu,”
“Kenapa
kamu gak jadi artis aja punya muka gitu?”
“Gak
minat Tan dan karena aku mengagumimu,”
Hati
Lintan mencelos mendengarnya dan mencoba santai dia berkata, “Mungkin karena
filosofi lintah yang jelek dan avertebrata tapi tetap berguna.”
“Bukan
itu saja, karena kamu sangat peduli pada orang di sekitarmu dan kamu sangat
manis Tan,” mimik muka Jerome semakin tampan. “Maukah kau menjadi kekasihku
sebelum perpisahan besok, Lintan?”
“Apa?
Jadi kamu ninggalin aku begitu aja setelah hari ini?”
“Iya,
mau gimana lagi karena itu janji Ayah dan keluarga besarku di Belanda,”
Meski
Jerome sangat menawan tetapi Lintan tidak ingin dicampakan bahkan hanya sehari
setelah ‘kalau mereka jadian’. Lintan memutuskan untuk pergi juga karena ucapan
Jerome yang enteng untuk meninggalkannya begitu saja.
“Dan
kamu akan menjadi alasanku untuk pulang dan tidak menetap di Belanda……, Lintan,”
ucap Jerome tenang sebelum Lintan jauh dari mejanya.
Mendengar
ucapan Jerome, Lintan tersipu, “Dasar pengupil!”
Mojokerto,
April 2013
 |
cute little piece of cake |
|
Dan cerpen itu memang sudah lama dikarang namun baru bisa dipublikasikan. Enjoy this short story like you eat that little piece of cake and wrote a comment if you deign..