Unknown

Aku berjanji Mendengarnya lalu pergi Aku berjanji Melihatnya lalu pergi Aku juga berjanji Tersenyum semanis mungkin lalu pergi Tidak ada apapun Tidak ada catatan Tidak ada Bagai bebunga berguguran di musim hujan Bagai kemunculan pelangi di malam hari keperakan Dia Menggenggam janjiku Menghapus pergi Melebarkan asa di dalam keheningan Aku bertanya Tapi tidak Aku berujar Tapi tidak Aku berkata Tapi tidak Tidak ada apapun Tidak ada catatan Tidak ada Aku hanya merasakan bahwasanya bunga-bunga bermekaran bersama tarian pelangi dalam keheningan yang membuncah di kejauhan

Puisi di malam hari untuk seseorang yang mengisi hati lalu menyendiri.

Unknown

“Enam tahun sudah kita bersama,” ucap Jerome lirih, memandang sayang pada kamar tidurnya. “Aku tidak tahu kapan aku bisa kembali karena kalau tujuh belas tahun nanti, aku akan ke Belanda, bersama kakek dan nenek di sana sekaligus melanjutkan sekolah, mengenang Ibu………”
“Sudah siap Jerome?” tanya Sudiro yang berada di depan pintu kamar Jerome yang terbuka.
“Iya Yah,” ucap Jerome, beralih memandang Ayahnya. “Ayah, izinkan aku kembali ke sekolah formal sebelum usiaku tujuh belas tahun nanti.”
“Tapi Jerome, apa kamu lupa pertama kali kamu memasuki SMP formal?” tanya Sudiro pada anaknya.
Jerome masih ingat saat pertama kali dia tiba di SMP formal. Dengan mata biru terang milik ibunya serta rambut coklat dan hidung mancung khas barat, Jerome banyak mendapat diskriminasi di sana-sini karena perbedaan fisik tersebut namun hal yang berbeda ditunjukkan oleh teman perempuannya, banyak godaan menghampirinya dan tak terhindarkanlah pengeroyokan geng lelaki itu ditujukan padanya. “Jerome punya strategi Yah, lagipula aku juga sudah fasih Bahasa Indonesia,” ucap Jerome tersenyum lebar.
“Baiklah, tapi kalau kejadian di SMP terulang lagi, Ayah gak segan akan kembalikan kamu ke home schooling,” ucap Sudiro mewanti-wanti anaknya.
“Oke Yah!”
            SMA Jayanegara. SMA yang cukup favorit untuk menjadi sekolah Jerome. Memasuki kelas di sekolah formal dengan teman yang beragam tingkah dan wajah, membuat Jerome amat bersemangat.
“Baiklah anak-anak, ini teman baru kalian, Jerome,” ucap Bu Ratih, sang walikelas di depan kelas menghadap teman-teman di kelasnya. “Nah Jerome, kamu bisa duduk di kursi kosong itu, sebelah Lintan.”
Jerome melihat berkeliling kelas dan dilihatnya gadis yang berkuncir kuda dengan tatapan biasa saja terhadapnya, sedikit berbeda dari perempuan lain yang lebih antusias. Dia cukup manis dengan poni yang menutupi dahinya.
“Hai, aku Jerome,” sapa Jerome pada teman baru di sebelahnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Lintan,” ucap Lintan singkat, menjabat tangan Jerome dan segera melepasnya.
“Lintan?” ulang Jerome.
“Kenapa, emang ada yang aneh?” tanya Lintan, mendengus kecil.
“Enggak kok,” ucap Jerome, tersenyum ramah.
“Oh, hatciuuuuuwww,” bersin Lintan.
“Aa,” ucap Jerome melihat seragamnya bertitik-titik kecil terkena ingus cair Lintan yang nyiprat.
“Maaf ya, maaf, ini tisu buat bersihin,” ucap Lintan, memberikan tisu pada Jerome. “Aku radak flu.”
“Hidungnya kecil dan lancip, kenapa bersinnya muncrat sembarangan kayak air bah,” batin Jerome.
YYY
“Wah, ternyata ada rapat ekskul di perpustakaan, hmmm,” batin Jerome melihat kerumunan di meja panjang di salah satu sudut perpustakaan sekolah.
“Tidak boleh ramai lho Tan, awas kalau diulang lagi,” ucap Bu Lastri, penjaga perpustakaan kepada seseorang, terkesan mengingatkan.
“Beres Bu,” ucap seseorang yang dikenal Jerome sebagai suara perempuan yang memberi noda ingus pada seragam barunya masuk SMA.
Melanjutkan membaca kamus Indonesia-Belanda yang sudah kusam, Jerome berjalan sambil membuka-buka halaman kamus yang amat lembab karena jarangnya peminat.
“Bamm!” Jerome menabrak tubuh seseorang dan, “Aaaaah!” jeritan itu terdengar seiring jatuhnya tubuh mereka. Jerome menabrak tubuh Lintan yang berdiri di belakang tumpukan koran , koran-koran itu berserakan bersamaan dengan jatuhnya mereka berdua yang diikuti tawa dari penduduk perpustakaan termasuk pengurus ekskul drama yang sedang rapat meski mereka sudah bergegas berdiri, dan……….”Lintaaan! ayo keluar dari perpustakaan, selalu saja kamu!” teriak Bu Lastri.
“Tapi Bu
“Tidak ada tapi, ayo keluar!” kekeuh Bu Lastri, menunjuk pada pintu perpustakaan.
Tanpa melihat Jerome ataupun menghiraukan tawa yang masih terdengar, segera saja Lintan berlalu dari hadapannya dan keluar dari perpustakaan. Merasa ini karena kesalahannya, Jerome mengikuti langkah Lintan.
“Hai, Tan,” langkah Jerome mengikuti Lintan.
“Mau apa?” tanya Lintan, tetap berjalan dan tidak menoleh pada Jerome.
“Aku mau minta maaf,” ucap Jerome, masih di belakang Lintan.
“Bamm!” Jerome kembali menabrak tubuh Lintan yang berhenti mendadak di depannya. “Maaf,” ucapnya cepat-cepat.
Lintan berbalik untuk melihat Jerome, “Kamu rabun ya, hobi banget nabrak aku.”
“Mungkin…sedikit,” ucap Jerome, tersenyum ramah.
“Jadi periksakanlah, oke anak baru, takutnya nanti kamu kena rabun ayam,”
“Rabun ayam?” tanya Jerome, kentara tidak mengerti.
“Ya, rabun ayam itu biasanya bisa datang meski dari rabun biasa dan efeknya kamu bakal gak bisa liat warna lain selain warna hitam putih,” ucap Lintan, berlalu dari kebingungan Jerome.
“Emang enak dikerjain, salah sendiri hancurin rencana aku,” batin Lintan.
“Emang bener ada penyakit seganjil itu di Indonesia?” lirih suara Jerome.
Berjalan menuju kelas untuk mengambil tasnya, Jerome masih saja memikirkan tentang penyakit rabun ayam. Lintan berhasil.
Sesampai di kelas…….
“Loh Tan, kamu masih di sini?” tanya Jerome yang melihat Lintan masih di kursi sebelahnya. “Ini udah jam pulang kan?”
“Yee, emang kenapa? Aku juga gak nguntit barang kamu kok,” ucap Lintan ketus, meninggalkan Jerome begitu saja.
“Nguntit?” batin Jerome
“Bapak pulang duluan aja ya,” ucap Jerome pada Pak Sabar yang merupakan sopir pribadinya, setelah di halaman luar sekolah.
“Lalu Tuan muda?” tanya Pak Sabar, kentara khawatir.
“Banyak angkutan kok, oke Pak,” ucap Jerome, berlalu dari hadapan Pak Sabar untuk mengikuti langkah kaki Lintan.
Perjalanan dari halaman luar sekolah menuju ke gang kecil di sisi kiri jalan, berkelok-keloknya jalan serta gang yang ada membuat Jerome tidak hapal jalan kembali jikalau dia nekat berbalik dan meninggalkan Lintan. Sesampai di jalan raya yang sepi, Jerome menjaga jarak beberapa meter dari Lintan agar tidak kepergok. Lintan menyeberang jalan dan memasuki pintu gerbang yang terlihat oleh Jerome seperti taman makam. Merasa aman, Jerome segera mengikuti langkah Lintan untuk memasuki gerbang. Setelah masuk, dia membuktikan perkiraannya yang benar bahwa itu memang taman makam.
“Tapi dimana Lintan?” batin Jerome sambil melihat kanan-kiri, kehilangan pandangan akan sosok Lintan.
“Heh, pengupil!” lantang suara Lintan di belakang Jerome.
“Pengupil…?” batin Jerome.
“Ngapain ngikutin aku hah!” gertak Lintan yang sudah berpindah di depan tubuh Jerome sambil mengayunkan silet pelancip pensil karatan di depan Jerome. ”Kamu mau nyulik aku! Atau kamu mau merkosa aku! Atau jangan-jangan………kamu penjagal yang mau mutilasi aku! Ayo ngaku!”
“Enggak lah,” ucap Jerome tenang.
“Terus mau apa!” gertak Lintan, masih mengayunkan silet pelancip pensilnya.
“Mending kamu beli silet baru untuk menggertak,” ucap Jerome, masih tenang memandang Lintan, tertawa kecil melihat silet karatan di tangan Lintan.
“Dasar pengupil! Pergi sana, mau ngapain sih?” Lintan menyimpan silet pelancip pensilnya.
“Lah kamu mau ngapain di taman makam sepi gini?” Jerome balik bertanya.
“Mau beli es cendol! Yah melayat lah!” ucap Lintan, berjalan menyusuri taman makam.
Jerome tertawa kecil mendengar ucapan Lintan, dan “Hampir saja,” batin Jerome, karena Lintan sudah berhenti mendadak di depannya, melihat dengan mata sendu pada salah satu pusara.
“Li-li,” eja Jerome. “Teman kamu Tan?”
“Iya,” ucap Lintan, duduk di sebelah pusara yang berhias bunga lili. “Lili yang mencintai bunga lili.”
Jerome duduk di sebelah Lintan yang sudah menitikkan air mata. Ingin ia menanyakan hal lainnya namun diurungkannya karena melihat raut duka di wajah Lintan.
“Li, ini Jerome, pengganti kamu sebagai teman sebangkuku, hidungnya sangat mancung dan rambutnya awut-awutan, jadi teringat Doni,” ucap Lintan, menghapus air mata yang menghiasi pipinya.
“Doni itu pacar Lili?” tanya Jerome.
“Bukan, dia boneka simpanse kesayangan Lili. Perrrrrrt! Perrrrrrt!” Lintan membuang ingus di tisu yang telah dipegangnya.
“?????!!!!!”
“Li, sepeda itu……..utang janjiku…….uang… Perttttt! Perrrrrt!” ucap Lintan dengan suara bindeng, masih saja membuang ingus ke tisunya dan membuangnya sembarangan. “Aku akan membayarnya.”
“Sepeda, utang, uang? Apa maksud Lintan?” batin Jerome.
“Huhuhuhuhu…huhuhuhu.” tangis Lintan semakin menjadi. “Perrrrrrrt! Perrrrt!”
“Udah, jangan begitu, nanti Lili nyesel punya sahabat kayak kamu,” ucap Jerome, sok menasehati.
“Apa maksudnya!” gertak Lintan, masih dengan suara bindeng.
“Tuh liat,” ucap Jerome, memandang pada tisu-tisu Lintan yang berserakan di sekitar pusara. “Bukannya ngasih bunga malah dihiasin tisu penuh ingus.”
“Ehehe…” senyum Lintan mengembang.
“Oh ya Tan, kenapa sih kamu panggil aku pengupil?” tanya Jerome, ketika mereka di salah satu kursi panjang di halaman luar taman makam.
“Karena hidung kamu mancuuung banget, pastinya itu karena kamu suka ngupil karena kamu juga bukan bule,” ucap Lintan, cekikikan.
“Aku ada keturunan Belanda,” ucap Jerome.
“Belanda? Belanda kompeni?” tanya Lintan, meneliti Jerome. “Kamu udah pengupil suka boong juga ya. Mata kamu hitam biasa, rambut coklat yang jelek dan awut-awutan, hidung mancung gitu orang sini juga banyak. Kalau keturunan kompeni, mata biru barulah menyakinkan.”
“Tapi,” ucap Lintan, melihat dalam mata hitam Jerome. “Mata kamu kayak……kamu pakai lensa mata?”
“Enggak lah,” ucap Jerome mengalihkan pandangan agar Lintan tidak melihat matanya. “Lalu sepeda, utang, uang yang kamu bicarain tadi? Kamu punya utang uang ke Lili buat beli sepeda Tan?”
“Plak!” Lintan memukul kepala Jerome. “Enggak lah. Liat aku audisi drama ya pil! Mungkin minggu depan.”
YYY
“Hei pil, gimana? Bagus gak akting aku tadi?” tanya Lintan, menghampiri Jerome yang ada di kursi penonton.
Melihat rambut Lintan yang tergerai, dia terlihat semakin manis di mata Jerome. “Bagus….emm rambut kamu digerai?”
“Iya, ini kesukaan Aldinan,” ucap Lintan, mengelus rambutnya yang tergerai.
“Oyah, masih adakah audisi pangerannya?” tanya Jerome.
“Ya gak ada, kan yang jadi pangeran itu si Aldinan,” ucap Lintan ceria. “Lagian mana ada pangeran rambutnya awut-awutan kayak kamu, kamu cocoknya jadi pengantar apel.”
“Pengantar apel?”
“Iya, nanti kan putri salju mati karena makan apel,,,,hatciuuuuuuw! Maaf pil!” Lintan kembali meyerahkan tisu pada Jerome.
“Oke,” kembali titik-titik cair menghiasi Jerome, kali ini bukan di seragamnya melainkan di wajahnya. Sungguh terlalu Lintan!
Beberapa menit kemudian…..
Maka sudah diputuskan juri bahwa yang memerankan putri salju adalah Lintan Andrada……
“Wah pil, aku menang,” ucap Lintan gemetaran sambil menggoncang-goncangkan lengan Jerome. “Aaah senangnya.”
“Iya.”
“Tapi mana ya yang namanya Aldinan?” batin Jerome.
YYY
 “Aaaaah dasar lintah darat! Aaaah dasar babi hutan!” teriakan dan jambakan tergambar jelas dengan bergulingnya Lintan dan Beby seperti singa berebut mangsa. Jerome dan beberapa teman berusaha untuk memisahkan perjambakan mereka karena pementasan segera dimulai hanya dalam beberapa menit.
“Kamu kenapa sih Tan?” tanya Jerome ketika sudah duduk di salah satu kursi. “Dia- Beby itu- saingan- soal-” ucap Lintan, ngos-ngosan.
“Oke , aku ambilin minum dulu,” ucap Jerome, menuju ruang konsumsi.
“Jadi, kamu bakal melumat bibir si Lintan, Nan?” tanya seorang lelaki yang memakai kostum raja di sebelah lelaki memakai kostum pangeran.
“Tentu, Aldinan takkan menyia-nyiakan kesempatan melumat bibir gadis secantik Lintan,” ucap lelaki yang memakai kostum pangeran yang ternyata Aldinan.
“Dasar! Kamu emang playboy sejati Nan!” ucap lelaki yang berkostum raja.
“Oh, jadi itu Aldinan dan dia playboy,” batin Jerome.
Dan tanpa sepengetahuan Jerome, secara jeli Aldinan telah memergoki dirinya yang meneliti Aldinan terlalu lama, “Eh, kenapa liat-liat!” gertak Aldinan pada Jerome. “Pengantar apel,”
Mendengar gertakan Aldinan, Jerome segera berlalu tanpa sepatah kata pun, hanya membawa dua gelas air mineral. Sesampai di depan Lintan, Jerome menceritakan apapun yang dibicarakan oleh Aldinan namun tanggapan Lintan yang dikira Jerome akan marah tidaklah muncul malah Lintan tenang-tenang saja.
Narator : Pangeran pun tiba untuk menyelamatkan nyawa putri salju…..
“Putri, aku akan menolongmu…..” suara Aldinan terngiang di seluruh aula.
“Jangaaaan!” ucap Jerome, keluar dari balik tirai panggung dan sudah memakai kostum raja yang ditanggalkan oleh Bastian, pemeran raja sesungguhnya.
“Aku adalah pangeran yang asli, dia pembunuh yang menyamar,” ucap Jerome lantang menunjuk Aldinan, menciptakan sendiri naskahnya. “Maka akulah yang akan menolong sang putri.”
Banyak bisikan dari belakang panggung maupun bangku penonton, terdengar satu seruan, “Wah, drama yang seru!” diikuti riuh tepuk tangan. Maka dengan semangat membara Jerome mencium kening putri salju alias Lintan tanpa memperhatikan wajah bengong tak terkira milik Aldinan.
YYY
“Pengupiiil! Kamu ngehancurin rencana aku. Ini gatot. Gatot. Gatoot!” teriak Lintan pada Jerome.
“Gatot?”
“Iya, dan kalau kamu nanya gatot itu apa, gatot itu pecinta calon rabun ayam kayak kamu!”
“Tapi aku kan cuma nyelametin kamu Tan, lagipula aku juga cuma cium kening kamu dan banyak yang suka, lagipula Aldinan itu
“Buaya. Yah aku tahu. Aku emang ngejar buaya itu karena aku bakal dapat uang sejuta dari Beby kalau aku bisa berciuman dengannya lebih dulu dari Beby tapi kamu hancurin begitu aja.”
“Kenapa kamu merendahkan harga diri hanya untuk uang sejuta Tan?”
“Merendahkan. Emang ya kamu gak pernah ngerasa gak punya duit dan kepepet. Ini semua aku lakuin untuk janji aku ke Lili untuk membeli sepeda baru buat Pak Lutfi. Ngerti kamu!” teriak Lintan dan meninggalkan Jerome terpaku.
YYY
            Jerome menelusuri siapakah Pak Lutfi itu dan ternyata Pak Lutfi adalah tukang kebun SMA Jayanegara sekaligus Ayah Lili. Lili ingin membelikan sepeda baru untuk Ayahnya yang selalu berjalan kaki setiap ia bekerja serabutan namun rencana Lili berhenti sejalan dengan berhentinya nafas Lili. Lintan dan Lili bersahabat,  Lintan pernah mengatakan hutang janji maka jelasnya tugas Jerome.
Beberapa bulan kemudian……
“Kamu yang ngasih sepeda baru ke Pak Lutfi?” tanya Lintan yang baru tiba di kelas, melihat lekat pada Jerome yang duduk di kursinya.
“Pak Lutfi yang ngomong gitu?” tanya Jerome sambil tersenyum ramah memandang Lintan.
“Iya,” ucap Lintan, duduk di kursi sebelah Jerome. “Makasih ya pil.”
“Tan, besok hari ulang tahun aku,” ucap Jerome, mencairkan suasana.
“Terus kenapa? Minta kado? Minta sana sama peri gigi,” cerocos Lintan.
“Ehehe, enggak lah. Besok aku jemput yah, ngerayain kecil-kecilan aja di restoran,” ucap Jerome ceria. “Rambutmu digerai, lebih indah.”
“Makasih dan jangan iri karena rambutku yang indah ini berbeda jauh dengan rambutmu yang jelek dan awut-awutan.”
“Ouh, dan Tan, kamu beneran pernah suka Aldinan selama pengejaran kamu?”
“Ada, meski dia buaya wajahnya tetap saja tampan setampan aktor Eza Gerilno,” ucap Lintan, tersipu.
“Apa ada kesempatan mengalahkan buaya sejenis Eza Gerilno kw?”
“Tentu saja yang memiliki mata biru cerah kayak Zac Efron, hahaha,”
“!”
YYY
“Kamu siapa? Zac Efron…..” lirih Lintan, terheran di depan lelaki tampan yang berpenampilan keren dan memiliki mata biru cerah.
Setelah diamnya lelaki tampan di depannya, Lintan berujar, “Agen pencari artis baru ya? Di sini gak ada yang daftar jadi artis mas,”
“Aku Jerome Tan,” ucap Jerome, menarik tubuh Lintan untuk masuk ke dalam mobilnya.
Jerome menceritakan segalanya tentangnya. Alasan dia menyamar serta mata biru cerahnya yang berasal dari Ibu kandung seorang Belanda yang telah tiada, juga akan perjanjian usia tujuh belas tahun yang mengharuskan ia menetap di Belanda.
Di restoran………
Jerome diam sambil tersenyum-senyum kecil melihat wajah Lintan yang sangat berbeda dari biasanya, kentara gugup. “Apa pengupil ini lebih dari buaya-mu?”
“Aku ke toilet dulu,” ucap Lintan gak nyambung.
“Ini kue” sambutan ceria si pelayan restoran terpotong oleh gerakan Lintan.
“Prak! Bump!” debum bunyi kue terjatuh ke lantai.
Wajah Lintan sudah dipenuhi krim kue karena menabrak si pelayan yang baru sampai di sebelahnya. Tak pelak seluruh warga restoran menertawakannya.
“Sialan!” ucap Lintan, membasuh muka dan melihat cermin di depannya. “Aaaah!” Jerome Zac Efron sudah ada di belakangnya.
“Kamu!” gertakan Lintan terhenti sejalan dengan yang ia lihat bahwa di dalam toilet seluruhnya adalah lelaki kecuali dirinya. “Huhuhu,”
“Kenapa kamu gak jadi artis aja punya muka gitu?”
“Gak minat Tan dan karena aku mengagumimu,”
Hati Lintan mencelos mendengarnya dan mencoba santai dia berkata, “Mungkin karena filosofi lintah yang jelek dan avertebrata tapi tetap berguna.”
“Bukan itu saja, karena kamu sangat peduli pada orang di sekitarmu dan kamu sangat manis Tan,” mimik muka Jerome semakin tampan. “Maukah kau menjadi kekasihku sebelum perpisahan besok, Lintan?”
“Apa? Jadi kamu ninggalin aku begitu aja setelah hari ini?”
“Iya, mau gimana lagi karena itu janji Ayah dan keluarga besarku di Belanda,”
Meski Jerome sangat menawan tetapi Lintan tidak ingin dicampakan bahkan hanya sehari setelah ‘kalau mereka jadian’. Lintan memutuskan untuk pergi juga karena ucapan Jerome yang enteng untuk meninggalkannya begitu saja.
“Dan kamu akan menjadi alasanku untuk pulang dan tidak menetap di Belanda……, Lintan,” ucap Jerome tenang sebelum Lintan jauh dari mejanya.
Mendengar ucapan Jerome, Lintan tersipu, “Dasar pengupil!”
Mojokerto, April 2013




cute little piece of cake
Dan cerpen itu memang sudah lama dikarang namun baru bisa dipublikasikan. Enjoy this short story like you eat that little piece of cake and wrote a comment if you deign..
Unknown
Smile as smile..
Maksud dari kata itu sangat sederhana yakni tersenyumlah selayaknya senyum karena dewasa ini Saya merasa bahwa banyak orang di sekitar kita yang ketika menginjak usia dewasa akan kehilangan senyuman tulus bahkan itu juga berlaku bagi diri Saya sendiri :(
Maka dari itu mari tunjukkan smile as smile agar kita semakin ceria menjalani semua yang ada di depan. ;)
Kevin and Rara
Anak-anak, yes! Dan kebetulan mereka salah satunya merupakan anak keponakan dan yang satu tetangga dekat. Senyuman tulus dengan hal kecil yakni sahabat. Semakin banyak kegiatan semakin sulit mencari luang waktu untuk sahabat dan Saya kembali melihat foto dua balita kecil dan betapa bahagia senyum itu yang begitu jarang Saya temui di kantor. Sabar...
Kevin and Rara 2
Bermain kejar-kejaran meski sebelum tercapture mereka sempat cubit-cubitan -.-. Tetapi itu membuat Saya semakin sadar bahwa senyum tulus itu penting bagi siapa saja dan penting pula menciptakan semakin banyak senyum seperti halnya Kevin dan Rara untuk anak Indonesia lainnya. Mereka berhak untuk tersenyum dan menikmati masa kecil yang indah. Dan bagi kita semua yang sudah dewasa tersenyumlah setulus anak kecil dan semoga kita memiliki semangat untuk menciptakan senyum anak Indonesia yang lebih meluas lagi. Stop kids violence!


Indah Fauzi
Semoga tidak kalah manis dari Kevin dan Rara, hahaha! See you and God bless us!
Unknown
Hari itu di bulan Mei 2014. Mencari pemandangan indah di negeri ini tidak sulit tetapi mencapai jalan ke sananya yang amat huuh kalau bisa disingkat dari capek yang amat sangat..
Pehpulo shore 1


Cantik tentu saja. Pantai ini terletak di Blitar dan baru ditemukan bahkan orang yang asli sana saja baru tahu keberadaan pantai ini. Waw! Apakah ini yang dinamakan cantik yakni misterius dan tidak mudah ditemukan.
Pehpulo shore 2Add caption
Tidak ada efek apapun dan itulah biru asli dari pantai Pehpulo. Pantai ini masih begitu hijau dengan karang-karang menjulang bahkan masih banyak kepiting putih yang berlarian di bibir pantai.. O.o
Bagi kalian semua yang pecinta pantai, jangan lupa kunjungi pantai ini guys karena selain asri dan baru ditemukan pantai ini juga memiliki biru bening sebening mata Om John :D
Dan siap-siap juga bagi kalian semua yang berencana dan akan ke sini, jangan lupa kalau pantai ini baru ditemukan pastikan Anda menyewa guide yang profesional karena kebanyakan masyarakat masih memakai bahasa Jawa asli, hehe. Juga satu lagi tidak ada kamar mandi bagi kalian yang bakal ganti baju dan berniat selfie so jaga diri kalian bareng temen-temen. Enjoy Indonesia's beauty.
Indah Fauzi
Terakhir terima kasih untuk potograferku saat itu, (hehe maklum banyak potografer dadakan :D). Untuk Andry, temenku sedari esempe sampe segede ini. Thanks for our beautiful moment and our beauty trapped trip. Semoga bisa kembali melakukan hal gila lagi. God bless us...
Bebbi Ladylove
Aku lupa tepatnya tanggal berapa kami bertemu.. tapi semuanya berlalu sangat cepat.. ku merasa apakah selama ini semuanya hanya khayalan?.. aku sangat menyayangi kakak.. kakak yang mengalah, baik hati, selalu menenangkanku, mencemaskanku, memanjakanku, menjagaku, dan tentunya menyayangiku.. oleh alasan itulah aku sangat mengutamakan dirinya daripada siapapun di duniaku.. tetapi saat ini aku tidak bisa mengulang saat-saat seperti itu.. sekuat apapun aku menginginkannya.. sesering apapun aku menangis.. seperti apapun permohonanku.. hal indah bersama kakak hanya menjadi kenangan.. aku sangat merindukannya.. aku rindu tawanya
 , aku rindu nasihat-nasihatnya, aku rindu ciumannya, aku rindu pelukannya, aku rindu sikapnya, bahkan aku juga rindu melihat matanya yang seperti ikan seperti halnya aku juga^^.. aku sangat rindu kakakku.. banyak hal yang ingin aku katakan.. banyak hal yang ingin kuceritakan.. banyak rencana yang ku rancang untuk bersamanya.. tetapi itu tidak bisa terjadi.. rencanaku hanya tinggal rencana.. aku bisa melupakannya.. namun semua kenangan selalu kembali dan kembali lagi.. darahku berdesir dan dadaku terasa sesak maka jatuhlah air mata.. kakak tidak suka melihatku menangis tetapi aku tidak bisa membendung ini semua.. kakak belum tahu kenapa aku sering menangis terutama di depan matanya.. aku menangis karena aku sangat bahagia memiliki kakak seperti dirinya.. aku menangis setiap terharu akan dirinya.. dan aku juga mudah menangis karena rahangku selalu sakit apabila aku menahan tangisan.. kakak belum tahu ini semua.. aku ingin menjelaskan dan mendiskusikan ini semua tetapi dia sudah lebih dahulu enggan bertemu denganku.. aku tidak tahu kenapa.. kenapa seperti ini?.. kakak marah aku sudah terbiasa karena itulah wajarnya seorang kakak.. tetapi dia berbicara seperti orang lain di depan mataku.. dia tidak ingin aku manja kepadanya.. dia tidak ingin melihatku merengek.. dimana kakakku?.. kenapa seperti ini?.. aku tidak tahu kenapa.. dia seperti hadir dari dimensi yang berbeda.. aku lelah menunggunya.. aku tidak tahu kakak ada di mana.. seakan-akan percuma.. aku melihat fisiknya berkeliaran setiap hari tetapi aku yakin dia bukan kakakku yang sangat memanjakanku.. aku bingung Ya Allah.. dan sampai detik ini aku tidak tahu apakah kakak hilang atau bahkan tiada?